Minggu, 13 Juli 2014

Ramadhan di Perantauan

             Aku menelusuri pasar sore yang hanya dibuka saat bulan Ramadhan. Ada banyak meja-meja pedagang yang menjual aneka macam ta’jil di sini. Aku memperhatikan pengunjung pasar ini yang semakin sore semakin sumpek karena banyaknya orang yang datang. Mataku tertuju pada sepasang suami-istri, dan dua anak perempuan kecil di tengah-tengah mereka, yang sedang membeli kolak di seberangku. Wajah mereka tampak berseri dan bersemangat. Keluarga yang harmonis.

              Aku meneruskan perjalananku menelusuri pasar ini. Saat tiba di penjual tekwan model, aku jadi teringat dengan Mama di Palembang. Biasanya Mama suka membuat tekwan model sebagai salah satu menu buka puasa.

               Aku mendesah sedih. Satu tahun yang lalu aku masih bisa merasakan Ramadhan di tengah hangatnya keluarga-Mama, Papa, dan Mbak Vita. Makan sahur bersama, lalu bertadarus sambil menunggu adzan subuh, ngabuburit ke Jembatan Ampera memburu ta’jil, lalu pergi ke masjid bersama untuk shalat tarawih.

                Hingga Ramadhan hari ke-20 pun aku masih harus berada di sini, di kota Bandar Lampung, demi melihat nilaiku yang tak kunjung selesai. Ingin rasanya nekat pulang ke Palembang dan berpuasa di sana, tapi Mama selalu melarangnya. Ia ingin urusan kuliahku disini benar-benar tuntas dan memastikan nilai-nilaiku bagus semua.

                 Selesai memburu ta’jil, aku kembali pulang ke kos-ku untuk bersiap buka puasa. DREETT!! Ponselku bergetar hebat di saku celanaku. Segera kurogohkan tanganku mengambil ponselku dan melihat siapa yang menelepon. Terlihat nama Mama di layar ponselku yang berkedap-kedip. Ku geser ikon hijau di layar touchscreen-ku dan menempelkannya ke telingaku.

“Halo, assalamualaikum, Ma,” sapaku sambil meneruskan pekerjaanku menyiapkan makanan berbuka.

“Wa alaikum salam, Sayang. Lagi apa?” tanya Mama diujung telepon.

“Lagi bersiap buka puasa, Ma.”

“Oh, iya, disini juga lagi nunggu adzan. Mama masak tekwan model, lho, dibantuin Mbak Vita, sayang kamu nggak disini,” ucap Mama halus. Bibirku bergetar, ingin rasanya aku berada disana dan ikut membantu Mama memasak.

“Ma, aku kangen,” ujarku, lalu menutup mulutku-berusaha menahan tangisku agar tidak pecah. Hening. “Ma....”

“Sayang, kamu sabar, ya. Mama juga kangen banget sama kamu. Memang berapa nilai lagi yang belum keluar?” aku tahu disana, Mama pasti juga ingin menangis, atau malah sudah menangis?

“Tinggal satu lagi, dan itu yang paling susah, Ma. Yela takut....” aku menggigit bibir bawahku. Ingin rasanya bersandar di bahu Mama, saat ini juga.

“Mama disini selalu doain kamu, kok, sayang. Kamu juga disana selalu berdoa, ya.”

Aku dikagetkan oleh suara pentungan bedug. Adzan magrib tiba.

“Ma, disini udah adzan magrib,” ujarku memberi tahu.

“Yaudah, Mama tutup dulu, ya. Selamat berbuka, sayang,” sambut Mama lembut.

“Iya, terima kasih, Ma. Mama, Papa, dan Mbak Vita juga selamat berbuka puasa. Assalamualaikum.”

“Wa alaikum salam.” KLIK! Telepon terputus.

                Aku segera mengambil teh hangat dan meminumnya. Tangan kiriku masih bergerak menggerakkan ponselku membuka alamat website kampusku untuk melihat apakah nilaiku sudah keluar atau belum. Oh, sudah keluar! Jantungku berdebar tak karuan, berharap nilaiku bagus, meskipun hanya C, tak apa. Yang penting aku bisa cepat-cepat kembali ke rumah. Aku men-scroll layar ponselku hingga ke bawah karena namaku berada diurutan terakhir. Semakin mendekati namaku semakin tak karuan pula debar jantungku. Saat sampai di namaku, air mataku tak kuasa terbendung. Mata kuliah yang sangat aku khawatirkan nilainya akan buruk, justru bagus. Sangat bagus, malah. Aku mendapat nilai mutu A!

                  Ku letakkan gelas kosong yang semula berisi teh ke meja di depanku. Segera ku telepon kurir travel yang biasa aku gunakan untuk pulang ke Palembang, dan memesan tiket untuk keberangkatan besok.

“Ma, tunggu aku. Aku pulang!”



NB : diikutsertakan dalam tantangan menulis @KampusFiksi #ekspresipuasa


Tidak ada komentar:

Posting Komentar