Minggu, 31 Agustus 2014

Karena Handphone ?

Kalau aku tak bersepeda, apakah aku akan bertemu denganmu?
 Kalau aku tak jatuh, apakah kau akan menolongku?    

               Gita menengok ke arah lelaki di sampingnya. Senyum di wajahnya tak pernah pudar sedikitpun. Riki. Lelaki yang baru sebulan dikenalnya itu kini menjadi pacarnya. Ia kembali teringat dengan insiden tak terduga yang justru telah mempertemukan mereka.

                                                      ***
     Gita mengayuh sepedanya dengan santai. Ia sengaja melajukan sepedanya dengan pelan karena ingin merasakan udara segar pagi hari sebelum nantinya akan tercemar dengan polusi dari kendaraan. Untuk lebih meresapi hawa dingin yang menerpa wajahnya, ia memutar lagu dari handphone dan memasang earphone ke telinganya.
      Gita memang biasa bersepeda setiap Minggu pagi di lapangan olahraga yang hanya sepuluh menit untuk ke sana dari rumahnya. Biasanya ia ditemani Rani, tetangga yang sudah bersahabat dengannya dari kecil. Mereka akan mulai bersepeda pukul enam pagi sampai setengah delapan dan makan sate padang sebelum pulang ke rumah. Namun dari kemarin Rani menginap di rumah neneknya dan akan pulang kembali nanti sore. Jadilah sekarang Gita bersepeda sendirian.
  “Seandainya Rani nggak nginap di rumah Mbahnya,” gerutu Gita pada dirinya sendiri. Kini ia sudah bersepeda selama sepuluh menit dan sudah mengelilingi lapangan sebanyak empat kali.
      Semakin siang semakin banyak orang-orang berdatangan ke lapangan ini, terlebih lagi hari ini adalah Minggu. Gerobak-gerobak penjual makanan pun sudah banyak yang datang dan siap mengisi perut orang-orang yang selesai berolahraga.
  “Pagi, Mang Li,” sapa Gita saat melihat Mang Li, pedagang sate padang yang sudah menjadi langganannya dan Rani setiap selesai bersepeda ria itu menyiapkan dagangannya. Ia lalu menghentikan sepedanya di samping gerobak Mang Li.
  “Pagi, Neng. Loh, kok sendirian? Neng Rani mana?” tanya Mang Li.
  “Nggak ikut, Mang.”
  Mang Li ber-ooo ria, lalu, “Terus, nanti mau makan di sini, nggak?”
  “Iya dong. Tapi aku masih mau keliling, Mang.”
  Kali ini Mang Li hanya mengangguk-angguk.
  “Eh, Gita sepedaan lagi, ya. Dah, Mang,” pamit Gita sambil bersiap mengayuk sepedanya lagi.
  “Iya, Neng.”
      Gita lalu melanjutkan bersepeda berkeliling lapangan olahraga. Baru lima menit ia bersepeda lagi, ia seperti merasa ada yang mengikutinya.
      Ia menoleh ke belakang. Ada seorang lelaki yang berkendara motor. Gita lantas berfirasat buruk. Sepertinya lelaki itu telah mengikutinya dari tadi karena saat ia menengok, lelaki itu langsung mengerem motornya. Gita semakin mempercepat kayuhan sepedanya. Ia ingin cepat-cepat sampai di gerobak Mang Li lagi.
      Semakin ia mempercepat kayuhannya, motor di belakangnya semakin kebut dan menyamai sepedanya. Gita merasa tangan lelaki bermotor itu bergerak ke arahnya. Lalu lelaki itu menarik handphone Gita yang tadi ia letakkan di lengannya.
      Karena handphone-nya dikatikan dengan earphone dan earphone itu menempel di telinganya, Gita sampai oleng bahkan meski earphone yang tadi menempel di telinganya sudah lepas. Karena tarikan lelaki itu kuat sekali dan Gita tidak bisa menyeimbangkan tubuhnya, akhirnya ia pun terjatuh dari sepedanya.
  “Aaah….!!”  pekik Gita. Selama beberapa detik ia masih mempertahankan posisi tubuhnya dengan wajah yang menghadap ke aspal.
  “Lo nggak pa-pa?” terdengar suara lelaki di sebelah Gita. Lelaki itu lantas membantu Gita bangun.
  Kini Gita bisa melihat sosok lelaki yang sedang berjongkok di sampingnya. Wajahnya masih muda. Mungkin seumuran dengannya atau lebih tua 1-2 tahun darinya.
   “Lo nggak pa-pa?” tanya lelaki itu lagi.  Sadar bahwa lelaki itu sedang menunggu jawabannya, Gita pun akhirnya bersuara, “Oh, nggak pa-“
  “Hei! Lutut lo berdarah!” pekik lelaki itu sebelum Gita menyelesaikan kata-katanya.
     Gita pun melirik lututnya. Benar saja, kedua lututnya berdarah. Bukan itu saja, telapak tangan yang tadi ia gunakan untuk menopang tubuhnya pun ikut lecet-lecet berdarah.  “Sebentar ya,” lelaki itu bangkit dari jongkoknya dan berjalan menuju ke sebuah mobil lalu kembali lagi sambil membawa kotak P3K.
  “Maaf, ya,” lelaki itu menarik kaki Gita agar kakinya lurus. Lalu meneteskan obat merah ke atas luka di kaki Gita sambil meniupinya.
  “Aaahh… perih!” Gita mencengkeram lengan baju lelaki itu kuat-kuat.
   “Ini juga udah selesai kok,” ujar lelaki itu sambil terus meniupi luka Gita yang sekarang bertambah merah karena dilumuri obat merah. Ia sama sekali tidak marah dengan cengkeraman Gita yang tadi sempat membuatnya kaget.
  Gita masih tidak melepaskan cengkeramannya.
  “Kalo udah nggak kerasa perih, lo bisa lepasin lengan baju gue.”
  Gita langsung segera melepaskan cengkeramannya, “Maaf ya, ngg…”
  “Riki. Nama gue Riki.”
  “Oh, gue Gita.”  Riki mengamati sepeda Gita lalu beralih ke lutut Gita, “Kayaknya lo nggak bisa naik sepedanya deh.”
  Gita mengamati lututnya, “Terus gue pulangnya gimana?” tanyanya pada dirinya sendiri. “Oh! Telepon Papa aja,” lalu ia mulai melihat ke sekelilingnya untuk mencari handphone-nya.  “Lo cari apa?” tanya Riki yang melihat Gita kebingungan.
  Gita mendongak menatap Riki “Hp gue,” jawabnya.
  “Tadi bukannya hp lo dijambret orang?”  “Ah, iya!” Gita menepuk jidatnya sendiri saat sadar dengan kejadian tadi. “Terus gimana dong?”
  “Mau pinjem hp gue?” tawar Riki sambil menyodorkan handphone miliknya pada Gita.
  “Masalahnya gue nggak hafal nomor orang tua gue,” keluh Gita. Kini ia menyadari bahwa mengingat nomor-nomor orang terdekat sangatlah penting.
  “Jadi gimana sekarang?”  Gita menggigit bibirnya. Ia harus memikirkan cara agar ia bisa pulang ke rumah.
  “Mau gue anter aja?”
  Gita segera mendongak menatap Riki. Matanya berbinar-binar, “Lo mau?” lalu seakan menyadari pertanyaannya terlalu semangat, ia segera meralatnya, “Ngg… maksud gue, emang nggak pa-pa? Lo nggak keberatan?”
  Riki mengangkat bahu, “Karena nggak ada pilihan lain. Gue nggak tega aja biarin cewek yang abis kerampokan dan luka-luka parah begini harus jalan kaki ke rumahnya.”
  Gita tersenyum kecil mendengar penjelasan lelaki yang baru dikenalnya beberapa menit itu. Tak disangkanya, masih ada lelaki yang perhatian dan penuh tanggung jawab seperti ini sekarang.
  “Yaudah, sekarang aja yuk,” Riki melirik jam di pergelangan tangan kirinya. “Udah siang nih. Lo bisa bangun, nggak?”
   Gita memperhatikan telapak tangannya, “Kayaknya nggak bisa deh,” ujarnya sambil memperlihatkan telapak tangannya. “Dan gue nggak cukup kuat untuk bangun sendiri.”
  Akhirnya Riki menggenggam lengan Gita dan membantunya berdiri. Lalu memapah Gita ke mobilnya. Setelah itu ia mengangkut sepeda Gita-yang untungnya merupakan sepeda lipat ke mobilnya.
  Pertemuan mereka pun tak sampai disitu saja. Hari besoknya Riki dating menjenguk Gita ke rumahnya dan semakin hari mereka semakin dekat.

Minggu, 13 Juli 2014

Ramadhan di Perantauan

             Aku menelusuri pasar sore yang hanya dibuka saat bulan Ramadhan. Ada banyak meja-meja pedagang yang menjual aneka macam ta’jil di sini. Aku memperhatikan pengunjung pasar ini yang semakin sore semakin sumpek karena banyaknya orang yang datang. Mataku tertuju pada sepasang suami-istri, dan dua anak perempuan kecil di tengah-tengah mereka, yang sedang membeli kolak di seberangku. Wajah mereka tampak berseri dan bersemangat. Keluarga yang harmonis.

              Aku meneruskan perjalananku menelusuri pasar ini. Saat tiba di penjual tekwan model, aku jadi teringat dengan Mama di Palembang. Biasanya Mama suka membuat tekwan model sebagai salah satu menu buka puasa.

               Aku mendesah sedih. Satu tahun yang lalu aku masih bisa merasakan Ramadhan di tengah hangatnya keluarga-Mama, Papa, dan Mbak Vita. Makan sahur bersama, lalu bertadarus sambil menunggu adzan subuh, ngabuburit ke Jembatan Ampera memburu ta’jil, lalu pergi ke masjid bersama untuk shalat tarawih.

                Hingga Ramadhan hari ke-20 pun aku masih harus berada di sini, di kota Bandar Lampung, demi melihat nilaiku yang tak kunjung selesai. Ingin rasanya nekat pulang ke Palembang dan berpuasa di sana, tapi Mama selalu melarangnya. Ia ingin urusan kuliahku disini benar-benar tuntas dan memastikan nilai-nilaiku bagus semua.

                 Selesai memburu ta’jil, aku kembali pulang ke kos-ku untuk bersiap buka puasa. DREETT!! Ponselku bergetar hebat di saku celanaku. Segera kurogohkan tanganku mengambil ponselku dan melihat siapa yang menelepon. Terlihat nama Mama di layar ponselku yang berkedap-kedip. Ku geser ikon hijau di layar touchscreen-ku dan menempelkannya ke telingaku.

“Halo, assalamualaikum, Ma,” sapaku sambil meneruskan pekerjaanku menyiapkan makanan berbuka.

“Wa alaikum salam, Sayang. Lagi apa?” tanya Mama diujung telepon.

“Lagi bersiap buka puasa, Ma.”

“Oh, iya, disini juga lagi nunggu adzan. Mama masak tekwan model, lho, dibantuin Mbak Vita, sayang kamu nggak disini,” ucap Mama halus. Bibirku bergetar, ingin rasanya aku berada disana dan ikut membantu Mama memasak.

“Ma, aku kangen,” ujarku, lalu menutup mulutku-berusaha menahan tangisku agar tidak pecah. Hening. “Ma....”

“Sayang, kamu sabar, ya. Mama juga kangen banget sama kamu. Memang berapa nilai lagi yang belum keluar?” aku tahu disana, Mama pasti juga ingin menangis, atau malah sudah menangis?

“Tinggal satu lagi, dan itu yang paling susah, Ma. Yela takut....” aku menggigit bibir bawahku. Ingin rasanya bersandar di bahu Mama, saat ini juga.

“Mama disini selalu doain kamu, kok, sayang. Kamu juga disana selalu berdoa, ya.”

Aku dikagetkan oleh suara pentungan bedug. Adzan magrib tiba.

“Ma, disini udah adzan magrib,” ujarku memberi tahu.

“Yaudah, Mama tutup dulu, ya. Selamat berbuka, sayang,” sambut Mama lembut.

“Iya, terima kasih, Ma. Mama, Papa, dan Mbak Vita juga selamat berbuka puasa. Assalamualaikum.”

“Wa alaikum salam.” KLIK! Telepon terputus.

                Aku segera mengambil teh hangat dan meminumnya. Tangan kiriku masih bergerak menggerakkan ponselku membuka alamat website kampusku untuk melihat apakah nilaiku sudah keluar atau belum. Oh, sudah keluar! Jantungku berdebar tak karuan, berharap nilaiku bagus, meskipun hanya C, tak apa. Yang penting aku bisa cepat-cepat kembali ke rumah. Aku men-scroll layar ponselku hingga ke bawah karena namaku berada diurutan terakhir. Semakin mendekati namaku semakin tak karuan pula debar jantungku. Saat sampai di namaku, air mataku tak kuasa terbendung. Mata kuliah yang sangat aku khawatirkan nilainya akan buruk, justru bagus. Sangat bagus, malah. Aku mendapat nilai mutu A!

                  Ku letakkan gelas kosong yang semula berisi teh ke meja di depanku. Segera ku telepon kurir travel yang biasa aku gunakan untuk pulang ke Palembang, dan memesan tiket untuk keberangkatan besok.

“Ma, tunggu aku. Aku pulang!”



NB : diikutsertakan dalam tantangan menulis @KampusFiksi #ekspresipuasa


Kamis, 10 Juli 2014

Unpredictable Surprise

Berdasarkan kisah nyata yang difiksikan

---

Keysha memasuki ruang kelasnya dengan hati berdebar. Hari ini adalah hari ulang tahunnya. Ia curiga akan mendapat kejutan dari ketiga sahabatnya bahkan ia sudah menyiapkan baju ganti untuk jaga-jaga kalau ada acara siram air blau dan lempar telur. Namun, tampaknya dugaannya salah, hanya ada Mia, sahabatnya yang sudah duduk dengan tenang di bangkunya sedangkan kedua sahabatnya yang lain belum kelihatan bahkan tasnya pun belum ada di atas meja mereka.

Keysha menghampiri Mia dan duduk di sampingnya, “Hai, Mi.”

Mia menengok ke arah Keysha lalu tersenyum, “Hai, Key. Tumben udah berangkat?”

Keysha mengangkat bahunya, “Iseng aja.”

Keysha kecewa dengan pikirannya tadi yang mengira bahwa ia akan mendapat kejutan ulang tahun dari sahabatnya. Malah mungkin mereka lupa dengan hari ulang tahunnya.

“Oh, iya. Happy birthday ya, Key. Doanya semua yang terbaik untuk lo deh,” ucap Mia sambil memeluk sahabatnya. Keysha tersenyum lega, ternyata sahabatnya tidak melupakan hari ulang tahunnya.

“Makasih ya, Mi. Gue kira lo lupa sama ultah gue.”

“Ya nggak lah. Mana mungkin sih gue lupa? Nih kado dari gue,” Mia mengeluarkan kotak berbungkus kertas warna-warni dari laci mejanya dan memberikannya pada Keysha.

“Wah makasih ya...” Keysha menimang-nimang kado dari Mia seperti anak kecil yang diberikan mainan baru.

“Keysha.... Happy birthday...!!” Keysha dan Mia menoleh kearah pekikan suara itu berasal. Oci dan Retno, si empunya pekikan tadi, menghambur ke Keysha dan memeluknya sambil mengucapkan doa-doa kepada Keysha.

“Makasih ya semuanya...” ungkap Keysha setelah Oci dan Retno melepaskan pelukan mereka.

“Iya sama-sama sayang,” jawab keduanya.

***

Pelajaran sudah dimulai dari dua jam yang lalu. Sebentar lagi waktu istirahat. Keysha duduk dibangkunya dengan gusar. Ia masih berpikir sahabat-sahabatnya akan memberikannya kejutan ulang tahun. Ia melirik Mia yang tampak mengantuk menerima pelajaran dari sang guru di depannya. Lalu ia melirik Oci dan Retno yang berada di belakang tempat duduknya. Dilihatnya keduanya sedang asyik bermain kartu uno dengan sembunyi-sembunyi. Raut wajah mereka terlihat serius. Keysha mengalihkan pandangannya ke depan lagi. Tak ada yang patut dicurigai. Mungkin ketiga sahabatnya memang tidak berencana akan memberikannya kejutan.

Bel tanda istirahat berbunyi. Sang guru yang dari tadi sibuk mengoceh di depan kelas merapikan buku-bukunya dan segera keluar dari kelas.

“Huaaaahhh....” Mia merenggangkan tangannya selebar mungkin diikuti uapan mulutnya. “Ngantuk banget...” keluhnya kemudian, lalu membalikkan tubuhnya menghadap Oci dan Retno yang masih asyik bermain uno.

“Keluarin dong. Gue juga mau ikut main,” pinta Mia sambil mengucek-ucek matanya, masih mengantuk. Oci dan Retno mengeluarkan uno ke atas mejanya.

Oci mengeluarkan dompet dari tasnya dan mengambil beberapa lembar uang dari dalamnya dan menaruh dompetnya begitu saja di atas tasnya. “Gue mau beli jajan dulu, laper banget nih. Kalian main dulu aja,” ujarnya seakan menjawab pertanyaan dipikiran ketiga sahabatnya.

“Gue nitip teh kotak dong, Ci,” pinta Keysha yang disambut dengan anggukan oleh Oci. Oci bangkit dari duduknya dan melangkah pergi ke kantin.

“Kocok dong, Key,” pinta Retno.

Keysha dengan sigap mengocok tumpukan kartu-kartu uno dan membagikannya ke Mia, Retno, dan dirinya sendiri. Setelah semua sudah dapat kartu, permainan dimulai dengan dibukanya sebuah kartu dari tumpukan kartu cadangan.

 Ditengah permainan, Mia melirik dompet Oci yang terletak di atas tasnya, “Dasar si Oci teledor! Dompet kok ditaruh sembarangan,” Keysha dan Retno  ikut melirik ke arah dompet Oci.

“Namanya juga Oci,” tukas Retno sambil melanjutkan permainannya.

“Key, sembunyiin aja. Biar dia jera terus nggak asal taruh lagi,” Ucap Mia memulai ide isengnya.

“Iya, Key. Sembunyiin aja. Nanti kalo gue yang sembunyiin, cepet ketauannya,” dukung Retno. Keysha menyambut dengan seringai lebar lalu menyambar dompet Oci dan memasukkannya ke dalam tas.

 Tak lama kemudian, Oci memasuki kelas, menghampiri ketiga sahabatnya lalu menyodorkan teh kotak pada Keysha, kemudian duduk di samping Retno.

“Ikutan dong,” pinta Oci. Keysha membagikan kartu kepada Oci. Baru saja Oci membuka kartunya, bel tanda istirahat berakhir berbunyi.

“Sialan!” Maki Oci, membuang kartu uno ditangannya ke atas meja. Ketiga sahabatnya terkikik melihatnya.

Sang guru yang akan mengisi pelajaran selanjutnya sudah tiba di pintu kelas. Retno segera membereskan kartu-kartu uno dan memasukkannya ke laci mejanya. Keysha dan Mia juga sudah berbalik ke depan bersiap menerima pelajaran.

Mia teringat dompet Oci yang disembunyikan oleh Keysha dan ia jadi kepikiran untuk mengubah rencananya. Dengan sembunyi-sembunyi ia keluarkan ponselnya dari saku bajunya dan segera menekan layar touchscreen ponselnya.

Ci, dompet lo lagi disembunyiin Keysha. Kerjain, yuk, nanti lo sibuk nyari-nyari dompet ya terus maki-maki Keysha deh ;)

 Ponsel Oci bergetar disakunya, tanda ada sms masuk. Dengan hati-hati ia keluarkan ponselnya dan membaca sms yang dikirim oleh Mia. Oci menyodorkan ponselnya pada Retno agar membacanya juga. Setelah Retno membacanya, keduanya bertatapan lalu menyengir lebar. Mia menoleh pada Oci yang disambut dengan acungan jempol dari Oci, lalu ia berbalik kembali.

 Dua jam kemudian bel tanda pulang berbunyi. It’s show time! pekik Mia girang dalam hati. Sang guru sudah keluar dari kelas sedangkan semua murid sibuk membereskan buku-bukunya dan berhamburan keluar kelas. Setelah dirasa kelas sudah cukup sepi, Oci memulai bakatnya sebagai seorang aktris.

“Loh, dompet gue mana?!”pekik Oci berpura-pura panik. Mia dan Keysha menoleh ke belakang. Retno juga  memainkan perannya dengan ikut sibuk membantu Oci mencari dompetnya.

“Ketinggalan di rumah, kali?” tanya Keysha, melirik ke Mia yang disambut dengan senyum jail. Nggak tahu saja dia siapa sekarang yang lagi dikerjain!

Oci mendongak menatap Keysha, wajahnya terlihat panik beneran, “Nggak, Key. Tadi gue keluarin, kok. Emang kalian nggak liat ya?” jawabnya sambil terus sibuk merogoh-rogoh tasnya. Sekarang ia mengangkat tasnya dan membalikkannya, menghamburkan isi di dalamnya ke atas meja. Dijabarkannya barang-barangnya yang sekarang tercecer di atas mejanya, namun tetap, dompetnya tidak ada. Oci terduduk lesu di bangkunya, wajahnya frustasi bahkan air matanya sudah menetes di pelupuknya. Mia dan Retno sampai terperangah melihat acting yang dimainkannya.

“Tadi itu masih ada..... Mana gue harus bayar kredit motor Bokap hari ini lagi,” entah dari mana ide itu muncul, padahal Oci tahu benar bahwa Papanya tidak sedang kredit motor. Keysha jadi kasihan melihat Oci yang lesu begini, dikeluarkannya dompet Oci dari tasnya dan dijulurkannya pada Oci.

“Nih, dompet lo. Abis lo tadi naroknya sembarang-”

“Jadi lo yang nyembunyiin?! Sialan lo, ya! Lo nggak liat gue udah panik kayak gitu tadi?! Lo kira ini lucu, hah? Kayak anak kecil banget sih,” belum habis Keysha berbicara, Oci sudah merepetnya dengan makian. Keysha terkesiap mendengarnya, begitupun dengan Mia dan Retno.

“Maaf Ci, gue nggak bermaksud.....”

“Udah lah! Jijik gue sama lo!” Oci membereskan barang-barang di atas mejanya dan memasukkannya ke dalam tasnya dibantu dengan Retno. Ia tidak mengambil dompetnya yang disodorkan oleh Keysha.

“Yuk, No,” ajak Oci sambil keluar dari kelas. Keysha segera menyusul Oci sambil terus meminta maaf namun Oci tetap mengabaikannya sampai mereka tiba di parkiran motor. Keysha memberikan dompet Oci pada Retno namun ditolak olehnya dan segera naik ke atas motor Oci dan mereka pergi meninggalkan Keysha.

Mia mendekati Keysha yang sekarang merutuk Retno, “Ih, Retno kok kayak nggak mau tau gitu sih? Padahal ini juga kan usul dia!”

Mia jadi merasa bersalah mendengarnya, “Yaudah, sini dompetnya. Biar gue yang ngasih ke dia. Tadi dia lewat jalan biasa, kan?” Keysha mengangguk dan memberikan dompet Oci pada Mia. Mia segera memasukkannya ke dalam tas dan berjalan menuju motornya, lalu beranjak pergi menyusul Oci yang sedang menunggunya di  ujung tikungan sekolah.

“Gila! Ajib banget acting lo, Ci! Keysha sampe mau nangis tadi, jadi nggak tega deh gue,” puji Mia saat saat ia sampai di sebelah motor Oci. Oci tersenyum bangga akan acting-nya tadi yang menurutnya juga terlalu berlebihan.

“Iya. Gue aja masih merinding sampe sekarang,” sambut Retno menyetujui pujian dari Mia.

“Haha kayaknya sebentar lagi Nikita Willy kalah deh sama acting gue,” ucap Oci bangga. Benar-benar bangga.

“Terus sekarang kita ngapain?” tanya Mia bingung sendiri.

“Beli kue aja. Sekalian nyari kado buat dia, gue belum beliin kado nih,” usul Retno. Mia dan Oci menganggukkan kepala, usul diterima. Akhirnya jadilah mereka pergi ke toko kue dan toko kado lalu segera pergi ke rumah Keysha.

***

Keysha memarkirkan motornya di teras rumahnya lalu menghambur masuk ke dalam.

“Key, kamu kenapa?” tanya ibunya khawatir melihat wajah Keysha yang sedih dan wajahnya basah dengan air mata. Keysha tak menjawabnya, ia malah langsung masuk ke kamar dan menguncinya. Ibunya mengetuk pintu kamarnya namun tak dihiraukan olehnya.

Keysha melepas tasnya dan membaringkan tubuhnya di atas tempat tidurnya. Ditutupi wajahnya dengan bantal lalu ia menangis sejadi-jadinya. Ia tak menyangka sahabatnya sampai merutukinya dengan kalimat yang pedih di telinganya. Ia merutuki keisengannya, kalau saja ia tak mengikuti saran Mia dan Retno untuk menyembunyikan dompet Oci, pasti kejadiannya takkan begini. Hari ulang tahun yang hanya dirasakannya setahun sekali itu yang seharusnya memberi kesan indah untuknya malah terjadi sebaliknya. Benar-benar hari ulang tahun yang berantakan!

Cukup lama ia menangis dan kini hanya tersisa isakannya. Tiba-tiba terdengar suara motor berhenti di depan rumahnya dan cekikikan cewek-cewek yang Keysha perkirakan jumlahnya tiga orang. Keysha membuka bantal yang sejak pulang sekolah tadi menutupi wajahnya. Siapa ya?

Pintu kamarnya diketuk. Keysha masih enggan membukakan pintu kamarnya. Ditambah dengan wajah bengap dan mata sembab sehabis menangis tadi, ia jadi malu kalau dilihat oleh ibunya. Pintu kamar diketuk lagi. Kali ini ditambah ucapan ibunya, “Key, buka pintunya, Key. Ada yang mau ketemu,” Dengan ogah-ogahan Keysha menyeret kakinya menuju pintu lalu membukakannya, dan.......

“SURPRISE!!!” Keysha melihat Mia, Oci, dan Retno berdiri di depan pintu kamarnya sambil membawa sebuah kue dengan lilin berangka tujuh belas menyala di atasnya. Senyum lebar dan jahil terlihat di wajah mereka.

“Happy birthday, lagi, Key,” ucap Oci sambil menjulurkan kue di tangannya pada Keysha. Keysha segera meniup lilin di atas kue hingga padam.

“Lo abis nangis, Key?” tanya Mia mengamati wajah Keysha yang basah dan matanya berair.

“Jadi kalian isengin gue?” tanya Keysha, suaranya serak. Dilihatnya ketiga sahabatnya yang sekarang justru cekikikan.

“Jawab gue....” rengek Keysha.

“Ini semua ulah Mia, Key. Dia tuh yang ngusulin begitu,” jawab Oci, lalu tertawa lagi. Keysha menatap Mia, “Jadi lo udah ngerencanain ini, Mi?”

“Nggak juga sih, Key. Sebenernya ide tadi itu spontan aja munculnya, terus gue sms Oci deh. Sorry banget ya,” aku Mia, berusaha menahan tawanya agar tak lepas lagi.

“Oci acting-nya hebat ya, Key?” tanya Mia, lalu ia tertawa lagi. Keysha kesal sekaligus lega menerima kenyataan bahwa itu kejadian tadi hanya sandiwara, “Kalian jahat!” maki Keysha kesal.

“Sorry deh, sorry. Gue tau acting gue tadi berlebihan. Sebagai permintaan maaf, kita ada ini nih,” Oci memberikan sebuah kotak berbungkus kertas kopi berukuran sedang kepada Keysha. Keysha menerimanya meskipun gurat kesal masih terlukis di wajahnya.

“Buka dong, Key,” Keysha membuka pembungkus kotak itu perlahan dan ia mendapati sebuah dompet berwarna  biru laut, warna kesukaan Keysha. Keysha mendongak menatap ketiga sahabatnya.

“Biar lo inget kalo lo pernah dimarahin Oci gara-gara dompet,” jawab Retno terkikik.

Keysha melongo, lalu mulutnya mengerucut, “Jahaaaatt!!” pekiknya kesal. Ketiga sahabatnya malah tertawa lebih kencang, sampai-sampai mereka memegangi perutnya karena sakit terlalu banyak tertawa.

Akhirnya, secara perlahan, mereka menyurutkan tawa mereka karena melihat Keysha yang semakin sebal. Mia mengusulkan untuk melanjutkan prosesi potong kue yang tadi belum sempat dilakukan. Setelah acara potong kue selesai, Keysha digiring menuju sebuah pohon di depan rumahnya lalu diikat dengan tali sumbu yang tadi juga dibeli oleh mereka. Kemudian Keysha ditimpuki telur dan air blau, tidak lupa juga air selokan pun disiramkan ke tubuh Keysha. Jadilah sekarang Keysha sudah seperti orang gila. Namun, Keysha senang karena ketiga sahabatnya sayang padanya walaupun ia harus dibuat menangis terlebih dulu.