Kalau aku tak bersepeda, apakah aku akan bertemu denganmu?
Kalau aku tak jatuh, apakah kau akan menolongku?
Gita menengok ke arah lelaki di sampingnya. Senyum di wajahnya tak pernah pudar sedikitpun. Riki. Lelaki yang baru sebulan dikenalnya itu kini menjadi pacarnya. Ia kembali teringat dengan insiden tak terduga yang justru telah mempertemukan mereka.
***
Gita mengayuh sepedanya dengan santai. Ia sengaja melajukan sepedanya dengan pelan karena ingin merasakan udara segar pagi hari sebelum nantinya akan tercemar dengan polusi dari kendaraan. Untuk lebih meresapi hawa dingin yang menerpa wajahnya, ia memutar lagu dari handphone dan memasang earphone ke telinganya.
Gita memang biasa bersepeda setiap Minggu pagi di lapangan olahraga yang hanya sepuluh menit untuk ke sana dari rumahnya. Biasanya ia ditemani Rani, tetangga yang sudah bersahabat dengannya dari kecil. Mereka akan mulai bersepeda pukul enam pagi sampai setengah delapan dan makan sate padang sebelum pulang ke rumah. Namun dari kemarin Rani menginap di rumah neneknya dan akan pulang kembali nanti sore. Jadilah sekarang Gita bersepeda sendirian.
“Seandainya Rani nggak nginap di rumah Mbahnya,” gerutu Gita pada dirinya sendiri. Kini ia sudah bersepeda selama sepuluh menit dan sudah mengelilingi lapangan sebanyak empat kali.
Semakin siang semakin banyak orang-orang berdatangan ke lapangan ini, terlebih lagi hari ini adalah Minggu. Gerobak-gerobak penjual makanan pun sudah banyak yang datang dan siap mengisi perut orang-orang yang selesai berolahraga.
“Pagi, Mang Li,” sapa Gita saat melihat Mang Li, pedagang sate padang yang sudah menjadi langganannya dan Rani setiap selesai bersepeda ria itu menyiapkan dagangannya. Ia lalu menghentikan sepedanya di samping gerobak Mang Li.
“Pagi, Neng. Loh, kok sendirian? Neng Rani mana?” tanya Mang Li.
“Nggak ikut, Mang.”
Mang Li ber-ooo ria, lalu, “Terus, nanti mau makan di sini, nggak?”
“Iya dong. Tapi aku masih mau keliling, Mang.”
Kali ini Mang Li hanya mengangguk-angguk.
“Eh, Gita sepedaan lagi, ya. Dah, Mang,” pamit Gita sambil bersiap mengayuk sepedanya lagi.
“Iya, Neng.”
Gita lalu melanjutkan bersepeda berkeliling lapangan olahraga. Baru lima menit ia bersepeda lagi, ia seperti merasa ada yang mengikutinya.
Ia menoleh ke belakang. Ada seorang lelaki yang berkendara motor. Gita lantas berfirasat buruk. Sepertinya lelaki itu telah mengikutinya dari tadi karena saat ia menengok, lelaki itu langsung mengerem motornya. Gita semakin mempercepat kayuhan sepedanya. Ia ingin cepat-cepat sampai di gerobak Mang Li lagi.
Semakin ia mempercepat kayuhannya, motor di belakangnya semakin kebut dan menyamai sepedanya. Gita merasa tangan lelaki bermotor itu bergerak ke arahnya. Lalu lelaki itu menarik handphone Gita yang tadi ia letakkan di lengannya.
Karena handphone-nya dikatikan dengan earphone dan earphone itu menempel di telinganya, Gita sampai oleng bahkan meski earphone yang tadi menempel di telinganya sudah lepas. Karena tarikan lelaki itu kuat sekali dan Gita tidak bisa menyeimbangkan tubuhnya, akhirnya ia pun terjatuh dari sepedanya.
“Aaah….!!” pekik Gita. Selama beberapa detik ia masih mempertahankan posisi tubuhnya dengan wajah yang menghadap ke aspal.
“Lo nggak pa-pa?” terdengar suara lelaki di sebelah Gita. Lelaki itu lantas membantu Gita bangun.
Kini Gita bisa melihat sosok lelaki yang sedang berjongkok di sampingnya. Wajahnya masih muda. Mungkin seumuran dengannya atau lebih tua 1-2 tahun darinya.
“Lo nggak pa-pa?” tanya lelaki itu lagi. Sadar bahwa lelaki itu sedang menunggu jawabannya, Gita pun akhirnya bersuara, “Oh, nggak pa-“
“Hei! Lutut lo berdarah!” pekik lelaki itu sebelum Gita menyelesaikan kata-katanya.
Gita pun melirik lututnya. Benar saja, kedua lututnya berdarah. Bukan itu saja, telapak tangan yang tadi ia gunakan untuk menopang tubuhnya pun ikut lecet-lecet berdarah. “Sebentar ya,” lelaki itu bangkit dari jongkoknya dan berjalan menuju ke sebuah mobil lalu kembali lagi sambil membawa kotak P3K.
“Maaf, ya,” lelaki itu menarik kaki Gita agar kakinya lurus. Lalu meneteskan obat merah ke atas luka di kaki Gita sambil meniupinya.
“Aaahh… perih!” Gita mencengkeram lengan baju lelaki itu kuat-kuat.
“Ini juga udah selesai kok,” ujar lelaki itu sambil terus meniupi luka Gita yang sekarang bertambah merah karena dilumuri obat merah. Ia sama sekali tidak marah dengan cengkeraman Gita yang tadi sempat membuatnya kaget.
Gita masih tidak melepaskan cengkeramannya.
“Kalo udah nggak kerasa perih, lo bisa lepasin lengan baju gue.”
Gita langsung segera melepaskan cengkeramannya, “Maaf ya, ngg…”
“Riki. Nama gue Riki.”
“Oh, gue Gita.” Riki mengamati sepeda Gita lalu beralih ke lutut Gita, “Kayaknya lo nggak bisa naik sepedanya deh.”
Gita mengamati lututnya, “Terus gue pulangnya gimana?” tanyanya pada dirinya sendiri. “Oh! Telepon Papa aja,” lalu ia mulai melihat ke sekelilingnya untuk mencari handphone-nya. “Lo cari apa?” tanya Riki yang melihat Gita kebingungan.
Gita mendongak menatap Riki “Hp gue,” jawabnya.
“Tadi bukannya hp lo dijambret orang?” “Ah, iya!” Gita menepuk jidatnya sendiri saat sadar dengan kejadian tadi. “Terus gimana dong?”
“Mau pinjem hp gue?” tawar Riki sambil menyodorkan handphone miliknya pada Gita.
“Masalahnya gue nggak hafal nomor orang tua gue,” keluh Gita. Kini ia menyadari bahwa mengingat nomor-nomor orang terdekat sangatlah penting.
“Jadi gimana sekarang?” Gita menggigit bibirnya. Ia harus memikirkan cara agar ia bisa pulang ke rumah.
“Mau gue anter aja?”
Gita segera mendongak menatap Riki. Matanya berbinar-binar, “Lo mau?” lalu seakan menyadari pertanyaannya terlalu semangat, ia segera meralatnya, “Ngg… maksud gue, emang nggak pa-pa? Lo nggak keberatan?”
Riki mengangkat bahu, “Karena nggak ada pilihan lain. Gue nggak tega aja biarin cewek yang abis kerampokan dan luka-luka parah begini harus jalan kaki ke rumahnya.”
Gita tersenyum kecil mendengar penjelasan lelaki yang baru dikenalnya beberapa menit itu. Tak disangkanya, masih ada lelaki yang perhatian dan penuh tanggung jawab seperti ini sekarang.
“Yaudah, sekarang aja yuk,” Riki melirik jam di pergelangan tangan kirinya. “Udah siang nih. Lo bisa bangun, nggak?”
Gita memperhatikan telapak tangannya, “Kayaknya nggak bisa deh,” ujarnya sambil memperlihatkan telapak tangannya. “Dan gue nggak cukup kuat untuk bangun sendiri.”
Akhirnya Riki menggenggam lengan Gita dan membantunya berdiri. Lalu memapah Gita ke mobilnya. Setelah itu ia mengangkut sepeda Gita-yang untungnya merupakan sepeda lipat ke mobilnya.
Pertemuan mereka pun tak sampai disitu saja. Hari besoknya Riki dating menjenguk Gita ke rumahnya dan semakin hari mereka semakin dekat.